Andi dan atlet |
Semasa jabatannya, banyak persoalan dunia olah raga yang tak bisa diselesaikan. Persoalan bukan hanya merosotnya prestasi yang ditandai dengan kegagalan meraih medali emas Olimpiade London, kegagalan di Piala Thomas dan Uber serta kegagalan dalam diplomasi menggolkan Surabaya sebagai tuan rumah Asian Games 2019.
Namun di masa Menpora Andi Malarangeng persoalan dualisme kepemimpinan juga tak kunjung mencapai kata sepakat. Soal dualisme KONI-KOI tentang lembaga olah raga paling representatif sampai dualisme PSSI-KPSI sebagai institusi sepakbola yang paling diakui.
Sebagai suatu lembaga pemerintah, Menpora memang bukan suatu lembaga yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Kewenangannya mencampuri urusan organisasi-organisasi olah raga dibatasi oleh indusk organisasi tertinggi olaha raga yang bersangkutan.
Karena itulah, Menpora atau pemerintah tidak punya wewenang mencampuri urusan PSSI dan KPSI yang sudah jelas berlarut-larut dan berimbas pada prestasi yang semakin memburuk. Begitu pun pada dualisme KONI dan KOI.
Sanksi yang dijatuhkan pada institusi sepakbola Brunei Darussalam oleh FIFA atau pun kepada komite olimpiade India oleh IOC karena dianggap adanya campur tangan pemerintah adalam pemilihan ketua menunjukkan hal tersebut bukan main-main dan dapat diakali.
SWaat mulai terpilih, figur Andi Malarangeng dengan kemampuan berpolitik dan kedekatannya dengan pusat kekuasaan yaitu Presiden diharap akan mampu "memaksa" pihak-pihak yang bertikai di induk organisasi mau duduk bersama dan menyelesaikan masalah.
Nyatanya hal itu tidak pernah terjadi. Andi Malarangeng justru menjadi masalah sendiri dengan kasus Hambalang. Suatu kasus yang menunjukkan bagaimana buruknya situasi bila olah raga dimasuki politik kekuasaan dan uang.
Sekarang persoalannya, siapa yang layak menggantikan Andi Malarangeng untuk meluruskan kembali dunia olah raga kita? Siapa pun dia, baik figur dari dunia olah raga atau pun birokrat akan bermanfaat, bila ia menempatkan olah raga tersebut sebagai "panglima."
Olah raga adalah pilihan dalam hidup pribadi dan bernegara. Olah raga tidak dapat dijadikan hal untuk "menyambi" atau "batu loncatan" dalam politik. Kegilaan publik Indoensia terhadap timnas di Piala AFF tersebut menunjukkan kita butuh para olah ragawan untuk memenuhi kebutuhan kita membuktikan diri sebagai bangsa yang bangga dan bermartabat.
Kita tentu tidak bisa lagi menerima figur yang di tengah-tengah masa jabatannya mengisyaratkan bila boleh memilih bidang lain, dia mau dan bersedia meletakkan jabatan. Dia harus orang yang tuntas dalam menjalani amanahnya. (Kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar