Siapa bilang wanita tidak bisa berprestasi di level
Olimpiade? Sudah banyak contoh atlet wanita, seperti Susi Susanti, yang mampu
mengharumkan nama bangsa lewat dunia olah raga. Berikut adalah sejarah kaum
hawa di Olimpiade, mulai dari larangan bertanding, wanita muslim, wanita Asia , hingga tinju wanita.
"Bagian tiga: Masa Perubahan"
Tak banyak yang tahu wanita sempat dilarang berpartisipasi
di nomor lari jarak jauh Olimpiade. Penyebab larangan tersebut adalah
tumbangnya beberapa atlet wanita ketika sedang memperebutkan medali emas nomor
lari 800 meter, pada Olimpiade 1928.
Butuh waktu selama 32 tahun bagi Komite Olimpiade
Internasional (IOC) untuk kembali mengizinkan atlet wanita bertanding di nomor
lari jarak jauh, tepatnya di Olimpiade 1960, dengan Lyudmyla Shevtsova dari Uni
Soviet yang keluar sebagai juara. Setelah itu muncul beberapa nama besar pelari
jarak jauh wanita, seperti Tatyana Kazankina, juga dari Uni Soviet, yang
menguasai nomor lari 800 dan 1500 meter di pertengahan tahun 70-an.
Wanita Muslim di
Olimpiade
Siapa yang pernah mendengar nama Nawal El Moutawakel? Bagi
yang belum tahu, ia adalah atlet Maroko sekaligus wanita muslim pertama yang
meraih medali emas di Olimpiade.
El Moutawakel meraih medali emas nomor lari gawang 400 meter
di Olimpiade Los Angeles
1984. Kemenangan itu membuat lulusan Universitas Iowa tersebut menjadi sosok terkenal dan
populer di Maroko.
"Saya bertanding dengan rasa penuh tanggung jawab
kepada rakyat Maroko yang lapar akan kemenangan dan kemudian berlari
sekencang-kencangnya. Ketika tiba di garis finis, orang-orang langsung memeluk
dan mencium saya. Saya tidak menyadari kenapa mereka memberi selamat. Saya
benar-benar sangat terkejut dan tidak percaya telah menjadi pemenang,"
kenang El Moutawakel.
Sayang, sambutan serupa tidak dirasakan oleh wanita muslim
kedua dan atlet Aljazair pertama yang meraih medali emas Olimpiade, Hassiba
Boulmerka. Peraih medali emas nomor lari 1500 meter Olimpiade Barcelona itu
bahkan menerima ancaman pembunuhan dari kelompok muslim fundamentalis Aljazair
setelah menjuarai Kejuaraan Dunia Atletik 1991 di Tokyo, karena dianggap
terlalu banyak memperlihatkan bagian tubuh ketika bertanding.
Boulmerka dan El Moutawakel adalah contoh bahwa menjadi
wanita muslim bukanlah penghalang untuk bisa berprestasi di level Olimpiade.
Ini bisa menjadi pelecut bagi atlet Indonesia , yang mayoritas beragama
muslim, untuk meraih prestasi serupa di kemudian hari.
Atlet Wanita Asia
yang Berprestasi
Negara pencetak atlet wanita peraih medali emas terbanyak
adalah Cina. Negeri Tirai bambu menguasai hampir seluruh cabang olah raga di
Olimpiade, seperti bulu tangkis, tenis meja, renang, dan angkat besi.
Tenis meja merupakan cabang olah raga yang sangat populer di
Cina. Jadi wajar jika sejak pertama kali dipertandingkan pada Olimpiade 1996,
Cina selalu memborong minimal lima
emas dari enam medali emas yang diperebutkan.
Prestasi paling impresif yang ditorehkan atlet wanita Cina
adalah di cabang renang. Medali emas pertama Cina dari kolam renang
dipersembahkan oleh Zhung Yong dari nomor paling bergengsi, yaitu 100 meter gaya bebas, pada Olimpiade
1992.
Angkat besi wanita yang pertama kali diperkenalkan pada
Olimpiade Sydney
langsung dikuasai Cina. Bahkan, keempat atlet yang dikirim Negeri Tirai Bambu
secara luar biasa meraih medali emas!
Tidak lengkap rasanya jika membicarakan wanita peraih medali
emas Olimpiade tanpa menyebut nama pebulu tangkis legendaris Indonesia , Susi Susanti. Susi
meraih medali emas bulu tangkis nomor tunggal putri di Barcelona
setelah mengalahkan atlet Korea
selatan, Bang Soo-Hyun, di babak final.
"Saya sangat bangga karena bisa menjadi peraih medali
emas pertama untuk Indonesia
dan Asia Tenggara," sebut Susi.
Tinju Wanita di
Olimpiade
Jumlah atlet wanita yang bertanding di Olimpiade semakin
meningkat, terutama dalam kurun 30 tahun terakhir. IOC terus berusaha untuk
mempromosikan wanita di dunia olah raga agar Olimpiade semakin berkembang.
Salah satu terobosan yang dilakukan adalah dengan mendirikan Women and
Sport Working Group pada 1995 dan telah resmi menjadi salah satu Komisi di
IOC sejak 2004.
"Ini merupakan hak asasi manusia. Wanita yang merupakan
50% dari populasi dunia tentu membawa banyak aset untuk olah raga. Mereka
memiliki cara dan kepribadian sendiri ketika berlatih," ujar Presiden
Komite Olimpiade Internasional, Jacques Rogge.
"Saya masih ingat perdebatan mengenai apakah wanita
sanggup untuk mengikuti lari maraton. Saya rasa 20 tahun lalu tidak akan ada
yang percaya pelari maraton wanita bisa meraih catatan waktu di bawah dua jam
dua puluh menit," lanjutnya.
Olimpiade Atlanta 1996 menjadi saksi untuk pertama kali
seorang wanita meraih medali emas di cabang olah raga sepeda gunung. Empat
tahun kemudian di Sydney, untuk pertama kali dalam sejarah Olimpiade, wanita
ikut serta di cabang olah raga pentathlon, triathlon, taekwondo, trampolining,
lontar martil, polo air, angkat besi, dan lompat galah.
Dua cabang olah raga pria terakhir yang akhirnya dibuka
untuk wanita adalah gulat, di Athena, dan bobsleigh, di Salt Like City. Setelah
itu, Olimpiade Beijing dan Vancouver
mencatat rekor jumlah partisipasi atlet wanita terbanyak sepanjang sejarah,
yang mencapai lebih dari 40%.
Dengan penambahan tinju wanita, Olimpiade London 2012 akan
mencatat rekor baru. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, atlet wanita akan
bertanding di seluruh cabang olah raga dalam sebuah gelaran Olimpiade.
Berkaca dari ucapan mantan atlet rowing Amerika Serikat dan
wanita pertama yang menjadi Wakil Presiden IOC pada 1997, Anita DeFrantz:
"Saya berharap wanita diberi kebebasan untuk menjadi
dirinya sendiri. Berhentilah membuat batasan-batasan atau mengatakan wanita
tidak bisa melakukan ini dan itu. Saya yakin pada 2020, wanita bisa menang di
lomba maraton terbuka. Semua hanya tinggal menunggu waktu saja. Banyak sekali
kesempatan bagi wanita untuk berprestasi di dunia olah raga," (Oka Akhsan
M/bolanews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar